02 Agustus 2019

Simpang Tiga, Sunyi, Temarang dan Kenangan

Simpang tiga dalam Gunung Tembak kala malam (doc. pribadi)
"Kenangan adalah cara untuk merawat pikiran,kadang-kadang" (kataku)

     Padahal bulek rombong dorong yang menjajakan makanan tahu tek-tek sudah mulai berkemas perlengkapan dagangannya, mas penjual sate ayam sebelahnya juga sudah selesai berkemas dengan jualannya dan mematikan lampu penerangnya. Tak lama datang pembeli terakhir yang sepertinya sudah sangat akrab dan hapal harus dibuat seperti apa pesanannya sesekali melemparkan guyonan untuk membuat suara lain selain suara dari ulekan bumbu kacang tahu tek-teknya.
     Ditemani rekan penjual lainnya seorang wanita yang duluan selesai dengan jualannya karena malam ini pembeli agak sepi, keluhnya kepada bulek tahu tek-tek. Mendangarkan obrolan orang lain adalah kebiasaan saya yang pastinya bukan karena saya ingin sangat tahu atau ingin mencampuri urusan orang lain. Bagi saya mendengarkan adalah bagian dari seni dalam hidup, karena dengan ini saya dapat mengetahui dan menggali sebanyak mungkin informasi apa yang yang terjadi sekitar lingkungan saya.
      Pesanan tahu tek-tek saya sudah dihidangkan dengan seperti biasa,tanpa ada standar-standaran khusus ala cafĂ© atau resto, seperti biasa kuah kacang bercampur bahan lainnya tetap disiram diatas lontong dan beberapa jenis sayur seperti biasa yang dari dulu tetap itu-itu saja bentuknya, yang berbeda dari dulu mungkin bulek penjualnya yang sudah sedikit berubah dari segi fisiknya dan umurnya bertambah pastinya. Oh iya yang berubah hanya media krupuknya, yang dulu langsung di taruh diatas bumbu kacangnya sekarang dengan menggunakan piring terpisah, apakah ini sebagai standar baru dalam hidangan tahu tek-tek di kampung saya. Pastinya dengan adanya piring tambahan berarti harga dari seporsi hidangan ini pun akan bergerak naik, semacam strategi untuk menaikkan harga dengan cara yang cantik.
     “Sekarang sepi Mas”. Bulek itu membuka obrolan denganku, saya bilang aja bahwa memang waktu sudah malam sembari melihat jam di handphone  yang telah menunjukkan pukul 22:15 Wita, sebenarnya belum terlalu juga. Saya tahu bahwa bulek ini telah lama berjualan di simpang tiga ini bahkan beberapa tetangganya pun yang saya kenal juga menjadi penjual di simpang ini. Rasanya tidak ada perubahan atau memang standart rasa tahu tek-tek di kampong ku ini memang seperti ini, seperti paklek satunyan yang tidak berjualan malam ini, itu pun juga dekat dengan jualan bulek ini. Hamper habis makanan dipiring saya walau pun kerupuknya masih tersisa agak banyak di dekatnya, bulek tersebut tetap setia menemai saya sebagai pembeli terakhir di rombongnya.
       Jejeran mobil terparkir di seberang rombong menjadi bahan obrolan saya dan bulek ini, bukan menceritakan siapa saja pemilik mobil tersebut. Jejeran mobil tersebut menjadi bahan obrolan karena dahulu kala tepat dijejeran mobil tersebut adalah jejeran para ibu-ibu penjual makanan dan kue basah ketika malam tiba. Bisa dikatakan bahwa penjual tahu tek-tek ini adalah saksi hidup keramaian kampong ini ketika malam tiba, Cuma saat itu bulek ini masih belu terlalu tua dan saya juga masih kecil kala itu, pastinya.
      Sejarah bermunculannya jejeran penjual makanan kala itu bisa jadi seiring dengan adanya gedung bioskop yang kini gedungnya saja sudah tidak ada Bioskop di kampung saya tersebut perlahan mati dan musnah seiring berkembangnya tehnolgi pemutaran film, awal kemunculan film dalam bentuk media laser disc turut mematikannya atau bisa juga selera penonton yang mulai bergeser seiring dengan makin banyaknya warga yang sudah mampu membeli televisi dimana kala itu harganya lumayan mahal dizamannya. Saat itu pun saya masih ingat ketika sore kita kerumah teman yang sudah memliki televisi hanya untuk menonton serial film kartun atau biasa kami sebut film “kokos” saya pun sampai saat ini malas mencari artinya “kokos” tersebut.
      Masih ingat di benakku ketika gedung biokop tadi memutar film seri saur sepuh yang berepisode-episode itu atau film Rhoma Irama dangan gitar andalannya, maka malam di kampung saya menjadi ramai karena orang-orang dari kampung sekitarnya akan datang untuk menonton film tersebut atau hanya sekedar datang menikmati suasana malam disini.
   “Beda yah Bu dengan malam-malam seperti dulu”, kataku. Buleknya tersenyum sepertinya pikirannya ikut masuk kedalam kenangan waktu dulu ketika melihat keseberang rombongnya yang telah di penuhi jejeran mobil terparkir, penjualnya sudah banyak yang meninggal dunia juga, katanya. Dulu, katanya lagi sewaktu masih ada bioskop kampung ini kalo malam terasa hidup, penjual makanan juga banyak itu belum lagi dengan para penjual yang ikut bermunculan saat ada pemutaran film yang berjualan disekitar bioskop dimana jadwal tayang filmnya bukan tiap malam.
   Makanan didepan saya telah habis bersamaan dengan selesainya bulek tadi mengemas rapi perlengkapan dagangannya. Lampu penerangan yang tidak terlalu terang dimatikan, ditemanin dengan kerabatnya yang datang membantu membawa perlengkapan jualannya dan bulek tersebut jugalah yang mendorong rombong untuk memasuki gang sempit menuju rumahnya. Saya menyampatkan untuk duduk sebentar dimeja ini sembari memandangi pertigaan yang ada tiang listik tepat disudut pertigaannya dengan lampu otomatis yang menjadi penerang jalan kala malam tiba yang telah bebarapa kali di perbaiki ketika lampunya putus.
       Masih ingat di pertigaan tersebut menjadi tempat nongkrong yang zaman sekarang sudah tidak ada lagi budaya tersebut. Pertigaan dimana saat nongkrong juga menjadi penanda terbaginya beberapa kubu anak-anak, ada anak dalam dan anak luar yang dipisahkan jalan yang tidak sampai delapan meter lebarnya. Pertigaan yang masih ada sedikit ruang buat sekedar duduk-duduk menghabiskan malam hingga tak jarang turut melupakan tugas sekolah atau PR kala itu. Pertigaan dimana cerita-cerita lucu mengalir bebas diiringi tawa bebas bahkan bisa sampai melupakan cita-cita bahwa kelak saya ingin menjadi polisi,tentara dan dokter tapi tak pernah serius belajar karena menikmati simpang tiga disetiap malamnya.
       Pukul 22:30,Nampak simpang tiga sudah lengan, temarang ditambah lagi beberapa lampu depan rumah warga juga ikut padam walaupun ada beberapa yang masih menyalakan lampu depannya hingga pagi tiba. Seiring berjalannya waktu sepertinya pola interaksi anak-anak hingga orang dewasa bukan lagi berkumpul seperti dulu, zaman ketika serbuan smartphone yang berisi layanan aplikasi lengkap berisi hiburan dan informasi yang dapat memanjakan dalam mengisi waktu  atau bagi anak-anak bisa membuatnya asik sendiri menikmati game online atau game yang bisa langsung dimainkan tanpa sambungan internet. Pola interaksi berubah sepenuhnya menjadi sedikit individual atau bahkan memang sudah menjadi individual, interaksi berubah menjadi interaksi tak langsung lagi karena media interaksi anatar sesama pun hanya melalui saluran dunia maya  yang di hubungkan dengan saluran jaringan internet walaupun mereka berdekatan jaraknya.
     Pertigaan ini, dan malam ini cukup menjadi kenangan saja. Cerita yang ada kala itu akan tersimpan dengan baik dibenak kami para penikmatnya, lalu akan kami ceritakan kembali cerita kenangan tersebut ketika kami bertemu lagi.     Pertigaan ini semoga akan tetap menjadi titik temu dari tiga masa lintas generasi kampung ini,generasi tua,muda dan generasi akan datang sebagai penerus kehidupan untuk tetap menghidupkan kampung ini, bersama-sama merawatnya dengan penuh kedamaian didalamnya, semoga. (2/8/19)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar